Teruslah menjadi Pelajar dan Pengajar |
1. Menjadikan keinginan
belajar sebagai tujuan pokok
Orang
yang menghargai ilmu adalah mereka yang senantiasa tidak ingin lepas dari buku,
punyai rasa ingin tahu yang kuat, mencari ilmu dimanapun ia berada, mendatangi
ilmu dan tidak mengharap ilmu yang mendatanginya. Tentunya, ini tidak terwujud
kecuali jika rasa ingin tahu telah mendarah daging dalam diri, dan menjadi
sebuah keperluan tersendiri.
Jika
anda berkata: “kenapa dalam melihat ilmu
pengetahuan harus disejajarkan dengan makanan pokok?” maka jawabnya seperti ini:
“kelangsungan
hidup setiap makhluk bergantung kepada makanan, dan tentunya ketahanan fizikal
ada pada makanan pokok yang wajib dihadam setiap hari. Begitu juga dengan
rohani, supaya ia dapat melahirkan ide dan inspirasi untuk mendatangkan
kemaslahatan jasmani, maka ia harus membaca dan menelaah. Seseorang mampu
bertahan hidup tanpa makan dan minum selama 40 hari, tetapi ia tidak mampu
menghabiskan satu hari tanpa berfikir. Olehnya itu, jika pada waktu tertentu
manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, maka pada saat sekarang manusia
sepatutnya dikatakan sebagai makhluk penuntut ilmu demi tercapainya keperluan
rohani dan jasmani secara seimbang.”
Mereka
yang mempunyai sikap seperti ini adalah mereka yang tidak membezakan keperluan
ilmu pengetahuan dari yang lain. Mereka yang menghargai semua guru, kerana apa
yang mereka sampaikan adalah makanan primer terhadap rohani. Bukankah suatu
kebodohan jika menjauhkan diri dari orang yang datang dengan sengaja memberi
dan menyuapi makanan kesukaan kita? Kenapa kita ingin menolak pemberian itu,
bukankah haiwan sendiri suka disuapi?
Ingatlah!
Berkat ilmu tergantung dari sejauh mana kita menghargai ilmu pengetahuan dan
orang-orang yang berilmu.
2. Terus menerus belajar.
Makanan
pokok tidak dikatakan sebagai keperluan mendasar jika hanya sekali dimakan
saja, tetapi makanan pokok itu adalah makanan yang senantiasa dihadam tiap
harinya. Seseorang boleh saja tidak makan keropok pada hari ini dan hari-hari
mendatang, tetapi amat sulit baginya jika tidak makan nasi pada tiap kali merasa
lapar.
Pelajaran
menjadi keperluan utama, jika dalam diri senantiasa ada dorongan kuat untuk
membaca, mengetahui, dan memahami.
Bukanlah
belajar itu dengan membaca sekali kemudian berhenti kerana telah merasa puas,
tapi belajar yang benar itu adalah belajar yang tidak pernah mengenal rasa
puas, senantiasa haus dengan ilmu, selalu membaca di setiap ada kesempatan.
Jika tidak membaca dalam jangka waktu tertentu tercipta dalam diri sebuah
keanehan dan rasa gelisah, seperti orang yang merasa lemah akibat tidak makan
dan minum.
Para
ilmuwan Islam terkemuka telah terbiasa menghabiskan waktu mereka berjam-jam
tanpa makan dan minum, hanya kerana terbuai oleh indahnya setiap hakikat ilmu
pengetahuan yang mereka fahami. Bahkan, di antara mereka yang ditakdirkan masuk
penjara meminta agar tidak dipisahkan dengan bukunya, meski ia hanya membawa
sehelai pakaian. Itu bukanlah hal yang aneh, kerana keperibadian manusia
terbentuk dari kebiasaan.
Hemat
penulis, seruan itu tersirat dari ayat-ayat yang menganjurkan umat untuk
senantiasa memikirkan dan mengungkap rahsia-rahsia Allah SWT di sebalik setiap
penciptaan kehidupan. Al-Qur'an menyeru kepada hal tersebut kerap kali
mempergunakan fi'il mudhari (kata kerja yang menunjukan pekerjaan yang terjadi
pada saat sekarang dan masa mendatang). Seperti firman-Nya di bawah ini:
“Maka
tidaklah kamu memahaminya?”(QS. al-Baqarah [2]: 44)
Dan
firman-Nya juga:
“Maka
apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS. al-An'am [6]: 50)
serta
firman-Nya:
“Maka
apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”(Qs. Yunus [10]: 3)
Dan
pastinya, seruan untuk memahami, berfikir, dan mengambil pelajaran senantiasa ‘valid’
sampai hari kiamat.
3. Merendah diri terhadap sesama
hidupan.
Tawadhu'
(rendah diri) merupakan tujuan ilmu, dan pada waktu yang sama dia juga jalan
meraih berkah pendidikan. Kerana dengan sifat itu, seseorang tidak menganggap
remeh ilmu pengetahuan, memandang enteng orang lain, membuang kesombongan dan
ego, dan senantiasa melihat dirinya sama dengan yang lain. Orang yang
menyombongkan diri dengan pengetahuannya telah berada pada kebodohan dalam
keadaan tidak sedar.
Apakah
yang dapat kita sombongkan dari ilmu itu? Bukankah pada suatu waktu seorang
pelajar kadang lupa apa yang pernah dipelajarinya, sementara ia amat yakin
bahwa hafalan tersebut senantiasa melekat di benaknya? Bukankah ini petanda bahawa
setiap pelajar hanya dituntut untuk belajar dan berusaha semaksima mungkin mengetahui,
tahu atau tidaknya itu tergantung kepada pertolongan Allah SWT? Bukankah itu dari
kelemahan dan ketidakmampuan kita sebagai hamba, jadi apa lagi yang mesti
disombongkan? Wahai mereka yang bersikap angkuh dengan ilmunya?
Orang
tua-tua seringkali melantunkan pepatah ini: “Ikut resmi padi, makin berisi
makin tunduk”. Orang yang rendah diri adalah mereka yang tahu jati diri,
tidak melihat ada sesuatu kelebihan dalam diri, kerana yang memberi isi ilmu
pengetahuan dalam dirinya adalah Sang Pencipta. Ia hanya tempat air yang siap
untuk diisi, dan tidak menutup kemungkinan air itu ada yang tumpah sebahagiannya.
Jika perihalnya seperti itu, kenapa kita tidak ingin menundukkan muka, merendah
diri terhadap sesama?
Di dalam
sifat ini tersimpan kebaikan yang tidak terkira. Jika rendah diri telah menjadi
pakaian seseorang, maka ia akan memberi rasa damai, tawakkal, dan percaya diri
yang luar biasa. Kenapa tidak? Bukankah rendah diri itu sifat para ulama.
Wahai
mereka yang berilmu, Berbahagialah! Anda adalah penyambung perjuangan para
nabi-nabi dalam mengembangkan dakwah Islam. Diberikan potensi untuk mengetahui
manifestasi nama-nama Allah SWT di alam semesta, diangkat darjatnya di antara
hamba-hamba-Nya, dan tentunya, mereka itu meniti jalan kebenaran menuju
akhirat.
Berbahagialah
kalian! Di dunia anda dimuliakan sesama, di akhirat anda mendapatkan tempat
kehormatan tersendiri di sisi Allah SWT. Olehnya itu, Buanglah jauh, dan kubur
mati kesombongan itu, serta tanamkan dalam diri sikap rendah diri!
Itulah
keberuntungan yang sebenarnya.
0 ulasan:
Catat Ulasan