Selasa, Ogos 27, 2013

Teruslah Menjadi Pembelajar!


http://1.bp.blogspot.com/-hk85dIFMVQE/URuvGsDcx6I/AAAAAAAAAoQ/u2tytalgAEk/s400/teruslah-menuntut-ilmu.jpg
Teruslah menjadi Pelajar dan Pengajar


1. Menjadikan keinginan belajar sebagai tujuan pokok

Orang yang menghargai ilmu adalah mereka yang senantiasa tidak ingin lepas dari buku, punyai rasa ingin tahu yang kuat, mencari ilmu dimanapun ia berada, mendatangi ilmu dan tidak mengharap ilmu yang mendatanginya. Tentunya, ini tidak terwujud kecuali jika rasa ingin tahu telah mendarah daging dalam diri, dan menjadi sebuah keperluan tersendiri.

Jika anda berkata:  “kenapa dalam melihat ilmu pengetahuan harus disejajarkan dengan makanan pokok?”  maka jawabnya seperti ini:

“kelangsungan hidup setiap makhluk bergantung kepada makanan, dan tentunya ketahanan fizikal ada pada makanan pokok yang wajib dihadam setiap hari. Begitu juga dengan rohani, supaya ia dapat melahirkan ide dan inspirasi untuk mendatangkan kemaslahatan jasmani, maka ia harus membaca dan menelaah. Seseorang mampu bertahan hidup tanpa makan dan minum selama 40 hari, tetapi ia tidak mampu menghabiskan satu hari tanpa berfikir. Olehnya itu, jika pada waktu tertentu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, maka pada saat sekarang manusia sepatutnya dikatakan sebagai makhluk penuntut ilmu demi tercapainya keperluan rohani dan jasmani secara seimbang.”

Mereka yang mempunyai sikap seperti ini adalah mereka yang tidak membezakan keperluan ilmu pengetahuan dari yang lain. Mereka yang menghargai semua guru, kerana apa yang mereka sampaikan adalah makanan primer terhadap rohani. Bukankah suatu kebodohan jika menjauhkan diri dari orang yang datang dengan sengaja memberi dan menyuapi makanan kesukaan kita? Kenapa kita ingin menolak pemberian itu, bukankah haiwan sendiri suka disuapi?

Ingatlah! Berkat ilmu tergantung dari sejauh mana kita menghargai ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berilmu.

2. Terus menerus belajar.

Makanan pokok tidak dikatakan sebagai keperluan mendasar jika hanya sekali dimakan saja, tetapi makanan pokok itu adalah makanan yang senantiasa dihadam tiap harinya. Seseorang boleh saja tidak makan keropok pada hari ini dan hari-hari mendatang, tetapi amat sulit baginya jika tidak makan nasi pada tiap kali merasa lapar.

Pelajaran menjadi keperluan utama, jika dalam diri senantiasa ada dorongan kuat untuk membaca, mengetahui, dan memahami.

Bukanlah belajar itu dengan membaca sekali kemudian berhenti kerana telah merasa puas, tapi belajar yang benar itu adalah belajar yang tidak pernah mengenal rasa puas, senantiasa haus dengan ilmu, selalu membaca di setiap ada kesempatan. Jika tidak membaca dalam jangka waktu tertentu tercipta dalam diri sebuah keanehan dan rasa gelisah, seperti orang yang merasa lemah akibat tidak makan dan minum.

Para ilmuwan Islam terkemuka telah terbiasa menghabiskan waktu mereka berjam-jam tanpa makan dan minum, hanya kerana terbuai oleh indahnya setiap hakikat ilmu pengetahuan yang mereka fahami. Bahkan, di antara mereka yang ditakdirkan masuk penjara meminta agar tidak dipisahkan dengan bukunya, meski ia hanya membawa sehelai pakaian. Itu bukanlah hal yang aneh, kerana keperibadian manusia terbentuk dari kebiasaan.

Hemat penulis, seruan itu tersirat dari ayat-ayat yang menganjurkan umat untuk senantiasa memikirkan dan mengungkap rahsia-rahsia Allah SWT di sebalik setiap penciptaan kehidupan. Al-Qur'an menyeru kepada hal tersebut kerap kali mempergunakan fi'il mudhari (kata kerja yang menunjukan pekerjaan yang terjadi pada saat sekarang dan masa mendatang). Seperti firman-Nya di bawah ini:
“Maka tidaklah kamu memahaminya?”(QS. al-Baqarah [2]: 44)

Dan firman-Nya juga:
“Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS. al-An'am [6]: 50)

serta firman-Nya:
“Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”(Qs. Yunus [10]: 3)
                                                                                
Dan pastinya, seruan untuk memahami, berfikir, dan mengambil pelajaran senantiasa ‘valid’ sampai hari kiamat.


3. Merendah diri terhadap sesama hidupan.

Tawadhu' (rendah diri) merupakan tujuan ilmu, dan pada waktu yang sama dia juga jalan meraih berkah pendidikan. Kerana dengan sifat itu, seseorang tidak menganggap remeh ilmu pengetahuan, memandang enteng orang lain, membuang kesombongan dan ego, dan senantiasa melihat dirinya sama dengan yang lain. Orang yang menyombongkan diri dengan pengetahuannya telah berada pada kebodohan dalam keadaan tidak sedar.

Apakah yang dapat kita sombongkan dari ilmu itu? Bukankah pada suatu waktu seorang pelajar kadang lupa apa yang pernah dipelajarinya, sementara ia amat yakin bahwa hafalan tersebut senantiasa melekat di benaknya? Bukankah ini petanda bahawa setiap pelajar hanya dituntut untuk belajar dan berusaha semaksima mungkin mengetahui, tahu atau tidaknya itu tergantung kepada pertolongan Allah SWT? Bukankah itu dari kelemahan dan ketidakmampuan kita sebagai hamba, jadi apa lagi yang mesti disombongkan? Wahai mereka yang bersikap angkuh dengan ilmunya?

Orang tua-tua seringkali melantunkan pepatah ini: “Ikut resmi padi, makin berisi makin tunduk”. Orang yang rendah diri adalah mereka yang tahu jati diri, tidak melihat ada sesuatu kelebihan dalam diri, kerana yang memberi isi ilmu pengetahuan dalam dirinya adalah Sang Pencipta. Ia hanya tempat air yang siap untuk diisi, dan tidak menutup kemungkinan air itu ada yang tumpah sebahagiannya. Jika perihalnya seperti itu, kenapa kita tidak ingin menundukkan muka, merendah diri terhadap sesama?

Di dalam sifat ini tersimpan kebaikan yang tidak terkira. Jika rendah diri telah menjadi pakaian seseorang, maka ia akan memberi rasa damai, tawakkal, dan percaya diri yang luar biasa. Kenapa tidak? Bukankah rendah diri itu sifat para ulama.

Wahai mereka yang berilmu, Berbahagialah! Anda adalah penyambung perjuangan para nabi-nabi dalam mengembangkan dakwah Islam. Diberikan potensi untuk mengetahui manifestasi nama-nama Allah SWT di alam semesta, diangkat darjatnya di antara hamba-hamba-Nya, dan tentunya, mereka itu meniti jalan kebenaran menuju akhirat.

Berbahagialah kalian! Di dunia anda dimuliakan sesama, di akhirat anda mendapatkan tempat kehormatan tersendiri di sisi Allah SWT. Olehnya itu, Buanglah jauh, dan kubur mati kesombongan itu, serta tanamkan dalam diri sikap rendah diri!

Itulah keberuntungan yang sebenarnya.


0 ulasan: